Kata orang, masa muda adalah masa
‘emas’. Masa dimana kita—sebagai pemuda bebas bereksplorasi atau bahkan mengubah
jalan hidup. Kesempatan untuk berekspresi, berkarya, maupun mengembangkan bakat
terbuka lebar; kesempatan untuk bisa melihat dunia dari sudut lain yang mungkin
tidak pernah terlintas sebelumnya; kesempatan untuk tidak menjalai hidup
seperti air yang mengalir, namun menentukan sendiri arah dan tujuan hidup;
kesempatan untuk bisa ‘berpindah’ dari zona nyaman.
Boarding pass dan pasport |
Perihal mencari pengalaman,
beberapa waktu lalu aku memanfaatkan masa muda dengan melakukan tindakan yang cukup nekat. Menjelajah
sisi lain dunia. Prinsip perjalanan tersebut adalah mengeksplorasi
sepuas-puanya dengan budget
serendah-rendahnya. Yup memang mirip prinsip ekonomi. Perjalanan cukup nekat
itu aku lakukan bersama, Sarah —sahabat sejak SMK sekaligus partner dalam suka dan duka.
Karena prinsip perjalanan ini low budget, maka kami merencanakannya
sejak beberapa bulan sebelumnya, sehingga kami bisa memanfaatkannya untuk
menyiapkan segala keperluan. Mulai dari mencari tiket promo, hotel untuk
menginap, lokasi wisata, transportasi, hingga kenang-kenangan. Tak hanya itu,
kami juga tidak lupa untuk mengorek informasi sebanyak-banyaknya, mencari
gambaran mengenai negara tujuan demi menghemat jasa guide. Memang negeri yang aku jelajah tidak jauh, masih satu rumpun
dengan tanah air Indonesia. Jadi, kami tidak terlalu memiliki kesulitan dalam
hal komunikasi, mencari makanan halal, maupun budaya.
Hari yang sudah direncanakan tiba
Selasa, 2 Juni 2015 *udah dari 2 bulan lalu kelamaan diem di draft* Berbekal peta transportasi dan jadwal kegiatan selama 2
hari kedepan, aku dan Sarah memulai langkah baru dalam mencari pengalaman
hidup. Pukul 04:30 WIB kami sudah menunggu bis Damri di terminal Kayuringin
Bekasi. Saat itu kondisi jalan cukup sepi, tidak sampai satu jam kami sudah
berada di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Langit masih gelap, matahari belum
menampakkan sinar, lampu-lampu masih menyala. Kami kepagian.
Walapun kami masih memiliki waktu
dua setengah jam sebelum take off, kami
tetap memutuskan untuk langsung mengambil antre-an check in. Setelah itu menuju bagian imigrasi kemudian ke boarding gate. Karena kondisi bandara
yang masih sepi, kami melewati kedua gate tersebut tanpa antre. Selama menunggu
di boarding room kami berfoto-foto
untuk menghilangkan rasa bosan.
Di atas awan |
Sekitar pukul 12 waktu Malaysia
(lebih cepat 1 jam dari waktu Jakarta. atau sama dengan WITA) kami sampai di KLIA 2, bandara khusus
penerbangan Air Asia. Setelah melewati bagian imigrasi Malaysia, kami langsung
melanjutkan perjalanan menunju KL sentral —pusat transportasi dan juga
mall dengan diantar bas. Oh ya saat berada disana, kita harus membedakan
pelafalan bis dan bas. Di Malaysia bis berarti kereta (train) sedang untuk menyebut bis yaitu bas. Tiket bas kami beli di
loket seharga RM 10 per orang. Transportasi disana terlihat cukup tertib.
(Sepertinya) tidak ada calo. Kondisi jalan pun cukup sepi. Tidak terlihat
tumpukkan kendaraan kecuali saat lampu merah atau gerbang tol. Oh ya di
Malaysia sepeda motor diperbolehkan melewati jalan tol lho.
Tidak sampai satu jam kami sudah
berada di KL Sentral. Disana tersedia monorail, LRT, komuter, dan bis dengan
berbagai tujuan. Kami tidak tahu transportasi apa yang harus kami pakai untuk
mengantarkan kami ke hotel yang telah dibooking
sebelumnya. Di tengah kabingungan, kami memberanikan diri untuk bertanya kepada
orang yang kami yakini penduduk lokal. Selain dijelaskan mengenai rute, kami
juga diberitahu cara membeli token. Untuk mamakai moda transportasi, pengguna harus menukarkan uang dengan koin token pada mesin. Sistem self service.
Source: mymrt.com |
Token dan Mesin Transportasi |
Pukul 16:30 waktu Malaysia kami baru tiba di D'Garden Hotel dan langsung check in dan menuju kamar. Kami memesan kamar Family Triple Room, yang mana tersedia 1 double bed dan 1 single bed. Karena pada awalnya kami merencanakan perjalanan ini bersama sahabat kami yang lain. Namun, ia membatalkan karena berbenturan kepentingan. Tempat tidur adalah sesuatu yang paling aku butuhkan. Rebahan sembari meluruskan otot-otot terasa
begitu nikmat saat itu. Setalah istirahat dirasa cukup, kami membersihkan badan
dari segala campuran keringat, debu dan air hujan. Walau bukan di daerah
pegunungan, entah mengapa aku merasa airnya terasa sejuk. Oh ya, tepat di depan kamar kami terdapat view yang cukup menyejukkan mata.
D'Garden Hotel |
View Depan Kamar |
Kamar 205 |
Keesokan harinya selepas
menunaikan kewajiban, kami menyisiri sekitar hotel. Masih gelap. Cahaya dari lampu-lampu jalan menyaingi sinar rembulan yang masih enggan pergi. Embun masih memeluk erat daun dan rerumputan. Perlahan-lahan Sang Surya mulai menampakkan dirinya, menggantikan peran rembulan.
Nasi Lemak |
Sekitar pukul 09:00 waktu setempat kami memulai menjelajah Kuala Lumpur. Karena jadwal kegiatan yang berantakan dan waktu yang tersisa tidak banyak, kami harus merelakan untuk membatalakan penjelajahan ke beberapa lokasi, hanya ke lokasi yang menjadi simbol Malaysia. Allah benar-benar Maha Baik. Dalam perjalanan ini kami banyak dipertemukan dengan orang-orang baik yang dengan senang hati membantu kami. Mulai dari petugas catering hotel yang membantu memberikan referensi destinasi, petugas hotel yang menjelaskan rute destinasi tanpa diminta, hingga pak Satpam Plaza Suria yang mengantarkan kami hingga seberang Twin Tower Petronas.
Batu caves merupakan kuil Hindu
yang didalamnya terdapat patung Murugan setinggi 42 M yang dilapisi emas. Saat
memasuki tempat tersebut kita langsung disambut oleh patung Hanoman yang
berdiri gagah dan burung-burung yang bertebaran di dekat pintu masuk. Bila ingin mencapai tempat pemujaan, pengunjung harus menaiki 272 anak tangga. Karena kondisi cuaca yang terik dan masih banyak
destinasi yang ingin kami kunjungi, kami memutuskan untuk tidak mencapai tempat
pemujaan.
Setelah puas berfoto di Batu
Caves kami langsung bergegas menuju Twin Towers Petronas. Untuk menuju lokasi tersebut, kami harus kembali ke halte Bank Negara. Namun kami memilih untuk turun di KL Sentral karena disana menyajikan beraneka ragam makanan sekaligus menunaikan Shalat Zuhur. Menu makanan yang tersedia tidak banyak yang berbeda dengan di Jakarta. KFC, MCD, Pizza Hut, dan berbagai jenis junk food mudah ditemui dengan harga yang relatif sama jika dirupiahkan. Tapi kami menemukan sesuatu yang cukup agak berbeda. Unik. Ice Cream MCD yang biasanya kita makan berwarna putih, namun disini sedikit lain. Belang-belang.
Dengan LRT Kelana Jaya kami diantar menuju halte KLCC, halte terdekat dengan Menara Kembar Petronas. Lagi-lagi halte tersebut menyambung dengan mall. Di sana kami hanya
mengambil foto menara kembar tertinggi di dunia setinggi 452 M yang memiliki 88
lantai. Menurut masyarkat sekitar dan informasi dari para blogger, Twin Tower
terlihat lebih megah pada malam hari. Walupun kunjungan kami siang hari namun
tempat tersebut tak pernah sepi pengunjung. Turis berdatangan silih berganti.
Hanya aku dan Sarah yang cukup ‘betah’ menahan terik demi memperoleh hasil foto
terbaik. Karena setiap kali kami ingin mengambil gambar, ada saja pengunjung yang
menghalangi.
Destinasi selanjutnya kami
diantar kereta LRT Kelana Jaya menuju Pasar Seni. Disana kami menghabiskan
waktu yang cukup lama untuk berbelanja oleh-oleh (maklum naluri perempuan, kalau urusan belanja tidak kenal letih). Produk yang dijual beragam dan hampir sama dengan yang ada di tanah air,
mulai dari gantungan kunci, miniatur Twin Tower, cokelat, kaos bertuliskan atau
bergambar icon Malaysia, pakaian
tradisonal Malaysia, hingga pakaian import Thailand juga mudah kita temui.
Ice Cream belang belang |
Petronas Twin Tower, Icon of Kuala Lumpur |
Pasar Seni |
Oleh-oleh Malaysia |
Usai berbenja, Sarah melihat lampion-lampion bergantungan. Sebenarnya Sarah sudah menyadarinya sejak masih di dalam LRT sebelum turun di halte Pasar Seni. Menurut informasi lagi-lagi dari para blogger tanah air, lokasi yang menampilan keindahan lampion ialah Petaling Street —lokasi yang semalam tidak berhasil kami temui. Lokasi ini menjajalkan beraneka ragam cendera mata seperti di Pasar Seni, juga berjejer tempat makan (sepengelihatan saya lebih banyak menawarkan makanan yang tidak halal). Tidak ada yang menarik dari lokasi ini, aku malah merasa was-was akan orang “jahat” karena lokasinya seperti lokasi hiburan malam.
Tidak terasa 14 jam lebih kami mencoba menjelajah Kuala Lumpur.
Rasa lelah mulai menjajah tubuh kami. Kaki seperti mati rasa. Jari-jari kaki
lecet. Tangan pegal. Pundak kaku. Namun kondisi perut tetap kami jaga
kestabilannya haha. Kami tiba di hotel cukup larut. Dan ada ritual baru sebelum
tidur, menyandarkan kaki pada dinding sambil mengoles minyak kapak pada bagian
kaki, tangan dan pundak. Kami sudah tak
menghiraukan aroma minyak yang menyengat. Yang kami harapakan hanya otot-otot kami kembali lemas agar bisa beraktivitas normal. Di tengah keletihan itu kami juga
tidak lupa menghubungi keluarga di tanah air untuk sekadar say hello. Setidaknya lewat jarak aku belajar untuk hidup mandiri
walau sesaat.
Karena rasa lelah yang luar biasa
alhasil keesokan harinya kami bangun saat matahari sudah cukup tinggi. Yap kami
k-e-s-i-a-n-g-a-n. Lagi-lagi kami harus merombak rencana perjalanan kami. Padahal
waktu berpetualang kami saat itu sangat singkat,karena kami hatus kembali ke
Negeri Pertiwi. Untuk itu kami memanfaatkan waktu yang terbatas dengan sebaik-baiknya. Check out hotel lebih cepat dari jadwal kemudian
bergegas ke Dataran Merdeka dengan membawa koper. Iya koper yang berisi pakaian
beserta kelengkapannya ditambah cendera mata yang kami beli di malam sebelumnya.
Kebanyang dong bagaimana repotnya, untung kita strong
dan pantang menyerah hahaha.
Sekadar foto, hati tetap Indonesia |
Di lokasi ini juga terdapat
KLCity Gallery yang merupakan sebuah perpustakaan. Disana juga terdapat
foto-foto sejarah dan miniatur KL yang bisa membantu para pengunjung untuk
menjelajah Negeri Jiran. Seperti itu isi KL City Gallery yang diungkap para blogger, namun kami
tidak masuk ke dalam KL City Gallery, hanya mengambil foto di depan tulisan KL raksasa.
Waktu lokal sudah menunjukkan pukul 14:00 dan pesawat yang akan kami tumpangi take off pukul 18:00. Kami memutuskan untuk segera meninggalkan lokasi tersebut. Kami sengaja mampir ke Masjid Jamiek untuk menunaikan kewajiban sekaligus meneduh dari siraman hujan matahari.
Masjid Jamiek |
Terimakasih untuk partner perjalananku Sarah Farida. Terimakasih sudah melwati suka-duka bersama. Mulai dari makan sepiring berdua; minum sebotol berdua — yang beli siapa, yang ngabisin siapa; keliling lantai hotel malam-mala buat cari air hangat,; sampai sabar mengahdapi sikap aku yang kadang manja. Perjalanan ini menjadikan kami saling mengenal lebih dalam. Hal-hal yang sebelumnya
tidak diketahui menjadi diketahui. Mulai dari jorok-joroknya, malas-malasnya,
bahkan kebiasaan tidur ‘kebo’ juga terkuak. Tidak hanya itu, kami juga belajar
bagaimana menahan ego dan emosi. Oh ya, persahabatan kalian kurang greget kalau belum pernah tukeran/pinjam pakaian haha. Sarah memakai Blazer aku dan aku memakai jaket jeans miliknya. Bayangkan Sarah yang memiliki postur yang lebih besar dari aku memakai pakaian aku yang berpostur 'irit', begitupula sebaliknya haha konyol sekali.
Sekali lagi, thanks for being my best partner Sarah Farida, semoga akan ada perjalanan-perjalanan selanjutnya.
Sekali lagi, thanks for being my best partner Sarah Farida, semoga akan ada perjalanan-perjalanan selanjutnya.
Total: Rp 2.365.000
ahaaaaa bagussss ^^
ReplyDeletehahaha sama-sama ni makasi juga buat semuanya yaaaaa
di tunggu destinasi selanjutnyaa ^^