Wednesday, August 5, 2015

My Trip My Adventure: Bolang To Kuala Lumpur

Kata orang, masa muda adalah masa ‘emas’. Masa dimana kita—sebagai pemuda bebas bereksplorasi atau bahkan mengubah jalan hidup. Kesempatan untuk berekspresi, berkarya, maupun mengembangkan bakat terbuka lebar; kesempatan untuk bisa melihat dunia dari sudut lain yang mungkin tidak pernah terlintas sebelumnya; kesempatan untuk tidak menjalai hidup seperti air yang mengalir, namun menentukan sendiri arah dan tujuan hidup; kesempatan untuk bisa ‘berpindah’ dari zona nyaman.

Boarding pass dan pasport
Perihal mencari pengalaman, beberapa waktu lalu aku memanfaatkan masa muda dengan melakukan tindakan yang cukup nekat. Menjelajah sisi lain dunia. Prinsip perjalanan tersebut adalah mengeksplorasi sepuas-puanya dengan budget serendah-rendahnya. Yup memang mirip prinsip ekonomi. Perjalanan cukup nekat itu aku lakukan bersama, Sarah —sahabat sejak SMK sekaligus partner dalam suka dan duka.

Karena prinsip perjalanan ini low budget, maka kami merencanakannya sejak beberapa bulan sebelumnya, sehingga kami bisa memanfaatkannya untuk menyiapkan segala keperluan. Mulai dari mencari tiket promo, hotel untuk menginap, lokasi wisata, transportasi, hingga kenang-kenangan. Tak hanya itu, kami juga tidak lupa untuk mengorek informasi sebanyak-banyaknya, mencari gambaran mengenai negara tujuan demi menghemat jasa guide. Memang negeri yang aku jelajah tidak jauh, masih satu rumpun dengan tanah air Indonesia. Jadi, kami tidak terlalu memiliki kesulitan dalam hal komunikasi, mencari makanan halal, maupun budaya.

Hari yang sudah direncanakan tiba Selasa, 2 Juni 2015 *udah dari 2 bulan lalu kelamaan diem di draft* Berbekal peta transportasi dan jadwal kegiatan selama 2 hari kedepan, aku dan Sarah memulai langkah baru dalam mencari pengalaman hidup. Pukul 04:30 WIB kami sudah menunggu bis Damri di terminal Kayuringin Bekasi. Saat itu kondisi jalan cukup sepi, tidak sampai satu jam kami sudah berada di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Langit masih gelap, matahari belum menampakkan sinar, lampu-lampu masih menyala. Kami kepagian.

Walapun kami masih memiliki waktu dua setengah jam sebelum take off, kami tetap memutuskan untuk langsung mengambil antre-an check in. Setelah itu menuju bagian imigrasi kemudian ke boarding gate. Karena kondisi bandara yang masih sepi, kami melewati kedua gate tersebut tanpa antre. Selama menunggu di boarding room kami berfoto-foto untuk menghilangkan rasa bosan.

Di atas awan
Sekitar pukul 12 waktu Malaysia (lebih cepat 1 jam dari waktu Jakarta. atau sama dengan WITA) kami sampai di KLIA 2, bandara khusus penerbangan Air Asia. Setelah melewati bagian imigrasi Malaysia, kami langsung melanjutkan perjalanan menunju KL sentral —pusat transportasi dan juga mall dengan diantar bas. Oh ya saat berada disana, kita harus membedakan pelafalan bis dan bas. Di Malaysia bis berarti kereta (train) sedang untuk menyebut bis yaitu bas. Tiket bas kami beli di loket seharga RM 10 per orang. Transportasi disana terlihat cukup tertib. (Sepertinya) tidak ada calo. Kondisi jalan pun cukup sepi. Tidak terlihat tumpukkan kendaraan kecuali saat lampu merah atau gerbang tol. Oh ya di Malaysia sepeda motor diperbolehkan melewati jalan tol lho.  

Tidak sampai satu jam kami sudah berada di KL Sentral. Disana tersedia monorail, LRT, komuter, dan bis dengan berbagai tujuan. Kami tidak tahu transportasi apa yang harus kami pakai untuk mengantarkan kami ke hotel yang telah dibooking sebelumnya. Di tengah kabingungan, kami memberanikan diri untuk bertanya kepada orang yang kami yakini penduduk lokal. Selain dijelaskan mengenai rute, kami juga diberitahu cara membeli token. Untuk mamakai moda transportasi, pengguna harus menukarkan uang dengan koin token pada mesin. Sistem self service.
Source: mymrt.com
Hotel tujuan kami berlokasi di Jalan Jejaka 5 Maluri. Dan halte terdekat dengan hitel ialah Halte LRT Maluri. Untuk menuju halte tersebut, dari KL Sentral kami bisa transit di halte Hang Tuah atau halte Masjid Jamiek. Kali itu kami memilih menumpang monorail dan turun di Hang Tuah sebagai halte transit. Kami masih belum beradaptasi dengan sistem transportasi, sehingga seperti anak itik yang kehilangan induknya. Tanya sana tanya sini. Tapi kami bersuyukur, mereka yang kami tanya, dengan senang hati membantu kami menunjukkan jalan yang benar.

Token dan Mesin Transportasi
Berdasarkan review dari berbagai situs, kami harus berjalan sekitar 10 menit dari halte Maluri untuk sampai di lokasi. Disitulah letak ujian kami. Kami harus berjalan, bertanya sana-sini. Mencari alamat dibawah derai hujan yang membasahi hati bumi. Dan diantara kami tidak ada yang membawa payung, jadilah kita hujan-hujanan. Sampai tidak bisa membedakan mana keringat dan mana air hujan. Di tengah letihnya mencari alamat, kami memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah rumah makan untuk memenuhi panggilan cacing di perut sekaligus mencari kehangatan dari pelukan kamu segelas teh. Aku lupa nama rumah makannya apa, tapi ibu penjualnya baik sekali. Ia membantu kami menemukan alamat dengan bertanya ke sekitar. Setelah menemukan orang yang tepat dan dijelaskan arah menuju lokasi ternyata tidak jauh. Berjalan lurus setelah melewati dua pertigaan belok kanan. Yang aku heran, saat itu aku berada di Jalan Jejaka 7 dan hotel yang sudah aku pesan berada di Jl. Jejaka 5, namun banyak yang tidak mengetahui. Mungkin masyarakat disana tidak pernah keluar rumah.

Pukul 16:30 waktu Malaysia kami baru tiba di D'Garden Hotel dan langsung check in dan menuju kamar. Kami memesan kamar Family Triple Room, yang mana tersedia 1 double bed dan 1 single bed. Karena pada awalnya kami merencanakan perjalanan ini bersama sahabat kami yang lain. Namun, ia membatalkan karena berbenturan kepentingan. Tempat tidur adalah sesuatu yang paling aku butuhkan. Rebahan sembari meluruskan otot-otot terasa begitu nikmat saat itu. Setalah istirahat dirasa cukup, kami membersihkan badan dari segala campuran keringat, debu dan air hujan. Walau bukan di daerah pegunungan, entah mengapa aku merasa airnya terasa sejuk. Oh ya, tepat di depan kamar kami terdapat view yang cukup menyejukkan mata.

D'Garden Hotel
View Depan Kamar
Kamar 205
Manusia hanya bisa berencana namun keadaan yang menentukan. Karena ketelatan kami tiba di hotel dari prediksi, jadwal perjalanan yang sudah kami susun sebelumnya mau tidak mau harus dirombak. Malam itu kami memutuskan ingin mengunjungi Petaling Street. Menurut informasi yang kami baca, daerah tersebut menyediakan beraneka ragam makanan. Namun sayang kami tidak menemukan lokasi tersebut. Kami hanya mengitari Masjid Jamiek dan berkeliling di sekitar Jalan Masjid India kemudian ke KL Sentral.

Keesokan harinya selepas menunaikan kewajiban, kami menyisiri sekitar hotel. Masih gelap. Cahaya dari lampu-lampu jalan menyaingi sinar rembulan yang masih enggan pergi. Embun masih memeluk erat daun dan rerumputan. Perlahan-lahan Sang Surya mulai menampakkan dirinya, menggantikan peran rembulan. 

Nasi Lemak
Setelah puas memburu udara segar, kami mengisi amunisi sebagai bekal perjalan panjang kami nanti. Voucher hotel yang kami pesan sudah termasuk sarapan. Kami memilih menu nasi lemak —salah satu makanan khas Negeri Jiran. 

Sekitar pukul 09:00 waktu setempat kami memulai menjelajah Kuala Lumpur. Karena jadwal kegiatan yang berantakan dan waktu yang tersisa tidak banyak, kami harus merelakan untuk membatalakan penjelajahan ke beberapa lokasi, hanya ke lokasi yang menjadi simbol Malaysia. Allah benar-benar Maha Baik. Dalam perjalanan ini kami banyak dipertemukan dengan orang-orang baik yang dengan senang hati membantu kami. Mulai dari petugas catering hotel yang membantu memberikan referensi destinasi, petugas hotel yang menjelaskan rute destinasi tanpa diminta, hingga pak Satpam Plaza Suria yang mengantarkan kami hingga seberang Twin Tower Petronas.

Patung Murugan
Oke destinasi pertama kami menuju Batu Caves.

Batu caves merupakan kuil Hindu yang didalamnya terdapat patung Murugan setinggi 42 M yang dilapisi emas. Saat memasuki tempat tersebut kita langsung disambut oleh patung Hanoman yang berdiri gagah dan burung-burung yang bertebaran di dekat pintu masuk. Bila ingin mencapai tempat pemujaan, pengunjung harus menaiki 272 anak tangga. Karena kondisi cuaca yang terik dan masih banyak destinasi yang ingin kami kunjungi, kami memutuskan untuk tidak mencapai tempat pemujaan.

Setelah puas berfoto di Batu Caves kami langsung bergegas menuju Twin Towers Petronas. Untuk menuju lokasi tersebut, kami harus kembali ke halte Bank Negara. Namun kami memilih untuk turun di KL Sentral karena disana menyajikan beraneka ragam makanan sekaligus menunaikan Shalat Zuhur. Menu makanan yang tersedia tidak banyak yang berbeda dengan di Jakarta. KFC, MCD, Pizza Hut, dan berbagai jenis junk food mudah ditemui dengan harga yang relatif sama jika dirupiahkan. Tapi kami menemukan sesuatu yang cukup agak berbeda. Unik. Ice Cream MCD yang biasanya kita makan berwarna putih, namun disini sedikit lain. Belang-belang.


Ice Cream belang belang
Dengan LRT Kelana Jaya kami diantar menuju halte KLCC, halte terdekat dengan Menara Kembar Petronas. Lagi-lagi halte tersebut menyambung dengan mall. Di sana kami hanya mengambil foto menara kembar tertinggi di dunia setinggi 452 M yang memiliki 88 lantai. Menurut masyarkat sekitar dan informasi dari para blogger, Twin Tower terlihat lebih megah pada malam hari. Walupun kunjungan kami siang hari namun tempat tersebut tak pernah sepi pengunjung. Turis berdatangan silih berganti. Hanya aku dan Sarah yang cukup ‘betah’ menahan terik demi memperoleh hasil foto terbaik. Karena setiap kali kami ingin mengambil gambar, ada saja pengunjung yang menghalangi.


Petronas Twin Tower, Icon of Kuala Lumpur
Destinasi selanjutnya kami diantar kereta LRT Kelana Jaya menuju Pasar Seni. Disana kami menghabiskan waktu yang cukup lama untuk berbelanja oleh-oleh (maklum naluri perempuan, kalau urusan belanja tidak kenal letih). Produk yang dijual beragam dan hampir sama dengan yang ada di tanah air, mulai dari gantungan kunci, miniatur Twin Tower, cokelat, kaos bertuliskan atau bergambar icon Malaysia, pakaian tradisonal Malaysia, hingga pakaian import Thailand juga mudah kita temui.

Pasar Seni
Oleh-oleh Malaysia
Menurut informasi dan opini pembaca di beberapa situs maupun para blogger, lokasi ini memang menyajikan harga paling murah sehingga cocok untuk membeli buah tangan untuk sanak saudara serta kerabat di tanah air. Dan pendapat tersebut benar adanya. Sebelumnya di Jalan Masjid India kami membeli 1 set gantungan kunci yang berisi 6 buah seharga 8 RM. Lalu saat di Batu Caves kami ditawari barang yang sama seharga 6 RM. Sedangkan di Pasar Seni alias Central Market kami memperoleh harga 5 RM. Wow banget kan perbedaan harganya. 
Usai berbenja, Sarah melihat lampion-lampion bergantungan. Sebenarnya Sarah sudah menyadarinya sejak masih di dalam LRT sebelum turun di halte Pasar Seni. Menurut informasi lagi-lagi dari para blogger tanah air, lokasi yang menampilan keindahan lampion ialah Petaling Street —lokasi yang semalam tidak berhasil kami temui. Lokasi ini menjajalkan beraneka ragam cendera mata seperti di Pasar Seni, juga berjejer tempat makan (sepengelihatan saya lebih banyak menawarkan makanan yang tidak halal). Tidak ada yang menarik dari lokasi ini, aku malah merasa was-was akan orang “jahat” karena lokasinya seperti lokasi hiburan malam.



Tidak terasa 14 jam lebih kami mencoba menjelajah Kuala Lumpur. Rasa lelah mulai menjajah tubuh kami. Kaki seperti mati rasa. Jari-jari kaki lecet. Tangan pegal. Pundak kaku. Namun kondisi perut tetap kami jaga kestabilannya haha. Kami tiba di hotel cukup larut. Dan ada ritual baru sebelum tidur, menyandarkan kaki pada dinding sambil mengoles minyak kapak pada bagian kaki, tangan dan pundak. Kami sudah tak menghiraukan aroma minyak yang menyengat. Yang kami harapakan hanya otot-otot kami kembali lemas agar bisa beraktivitas normal. Di tengah keletihan itu kami juga tidak lupa menghubungi keluarga di tanah air untuk sekadar say hello. Setidaknya lewat jarak aku belajar untuk hidup mandiri walau sesaat.

Karena rasa lelah yang luar biasa alhasil keesokan harinya kami bangun saat matahari sudah cukup tinggi. Yap kami k-e-s-i-a-n-g-a-n. Lagi-lagi kami harus merombak rencana perjalanan kami. Padahal waktu berpetualang kami saat itu sangat singkat,karena kami hatus kembali ke Negeri Pertiwi. Untuk itu kami memanfaatkan waktu yang terbatas dengan sebaik-baiknya. Check out hotel lebih cepat dari jadwal kemudian bergegas ke Dataran Merdeka dengan membawa koper. Iya koper yang berisi pakaian beserta kelengkapannya ditambah cendera mata yang kami beli di malam sebelumnya. Kebanyang dong bagaimana repotnya, untung kita strong dan pantang menyerah hahaha.

Dataran Merdeka
Kembali ke Dataran Merdeka…

Sekadar foto, hati tetap Indonesia
Sebenarnya Dataran Merdeka terletak didekat halte Masjid Jamiek —lokasi yang selalu kami singgahi sebagai terminal transit dalam setiap perjalanan kami. Disebut Dataran Merdeka karena lokasi tersebut merupakan tempat dideklarasikannya kemerdekaan Malaysia dan merupakan pusat peerintahan KL pada masa pendudukan Inggris sehingga banyak kita temui bangunan-bangunan kuno bernuansa Inggris yang masih tetap terjaga.

Di lokasi ini juga terdapat KLCity Gallery yang merupakan sebuah perpustakaan. Disana juga terdapat foto-foto sejarah dan miniatur KL yang bisa membantu para pengunjung untuk menjelajah Negeri Jiran. Seperti itu isi KL City Gallery yang diungkap para blogger, namun kami tidak masuk ke dalam KL City Gallery, hanya mengambil foto di depan tulisan KL raksasa.

Waktu lokal sudah menunjukkan pukul 14:00 dan pesawat yang akan kami tumpangi take off pukul 18:00. Kami memutuskan untuk segera meninggalkan lokasi tersebut. Kami sengaja mampir ke Masjid Jamiek untuk menunaikan kewajiban sekaligus meneduh dari siraman hujan matahari.

Masjid Jamiek
Waktu kami semakin sempit, pukul 15:00 Dengan diantar bas kami meninggalkan Negeri Jiran melalui  Kuala Lumpur International Airport. Penjelajahan kami di negara tetangga sudah berakhir. Perjalanan singkat, nekat, dan akan selalu teringat.

Terimakasih untuk partner perjalananku Sarah Farida. Terimakasih sudah melwati suka-duka bersama. Mulai dari makan sepiring berdua; minum sebotol berdua — yang beli siapa, yang ngabisin siapa; keliling lantai hotel malam-mala buat cari air hangat,; sampai sabar mengahdapi sikap aku yang kadang manja. Perjalanan ini menjadikan kami saling mengenal lebih dalam. Hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui menjadi diketahui. Mulai dari jorok-joroknya, malas-malasnya, bahkan kebiasaan tidur ‘kebo’ juga terkuak. Tidak hanya itu, kami juga belajar bagaimana menahan ego dan emosi. Oh ya, persahabatan kalian kurang greget kalau belum pernah tukeran/pinjam pakaian haha. Sarah memakai Blazer aku dan aku memakai jaket jeans miliknya. Bayangkan Sarah yang memiliki postur yang lebih besar dari aku memakai pakaian aku yang berpostur 'irit', begitupula sebaliknya haha konyol sekali.

Sekali lagi, thanks for being my best partner Sarah Farida, semoga akan ada perjalanan-perjalanan selanjutnya. 








NB: 
 Rincian pengeluaran aku dalam perjalanan ini: 
- Tiket Air Asia CGK-KLIA 2 : Rp 159.500
- Tiket Garuda KLIA-CGK : Rp 527.000
- D'Garden Hotel 3 Hari 2 Malam : Rp 181.000/ orang (awalnya perjalanan kami bertiga namun salah satu gagal karena berbenturan kepentingan)
-Tukar ringgit (untuk semua keperluan disana) : Rp 1.248.000 (RM 340)
- Bis Damri kelas Eksekutif Bekasi-CGK : Rp 60.000
- Bis Damri CGK-Bekasi : Rp 40.000
- Airport tax di Bandara Soekarno Hatta : Rp 150.000
Total: Rp 2.365.000


1 comment:

  1. ahaaaaa bagussss ^^

    hahaha sama-sama ni makasi juga buat semuanya yaaaaa
    di tunggu destinasi selanjutnyaa ^^

    ReplyDelete