“ …… Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
(QS. Ibrahim:14)
Bayak dari kita yang mengingkari
cuplikan ayat tersebut. Bahkan aku sendiri pun menjadi pelakunya. Mengeluhkan sesuatu
yang mungkin saja sesuatu itu dipandang sebagai anugerah bagi orang lain jikalau
kita mau mencoba melihat dari sisi yang berbeda.
Sebagai contoh kejadian beberapa
waktu lalu (kebetulan aku yang menjadi pemeran utamanya). Saat itu aku mendapat
tugas dari atasan untuk mengerjakan sesuatu. Di waktu yang sama, ada beberapa
tanggung jawabku yang belum aku selesaikan dan kesemuanya itu menuntut
kesegeraan. Satu tanggung jawabku selesai namun masih perlu revisi di beberapa
bagian, sedangkan tugas dari atasan masih jauh dari kata selesai. Di tengah kesemrawutan
isi otakku mengejar deadline ditambah tugas kuliah yang seakan tak ingin kalah menandingi,
aku kualahan mengontrol diri. Terhanyut dalam emosi. Aku mengeluhkan keadaan bahkan sedikit
merendahkan diri aku sendiri yang notabene-nya seorang karyawan —bukan pemilik.
Keluhan tersebut sempat aku
sampaikan pada sahabatku disalah satu group WhatsApp. Salah satu peran sahabat
adalah sebagai pengingat. Disaat sahabatnya hilang arah, sahabat yang lain
berusaha menuntun, mengarahkan menuju jalan yang benar.
Disaat emosi yang memuncak, tak hanya sahabatku, aku
juga berusaha menenangkan diri sendiri. Menyandarkan tubuh pada kursi,
menengadah ke langit-langit ruangan sambil memohon ampunan dari Sang Maha
Pengampun. Meski mulutku bungkam namun air mataku meluber, membasahi pipi kanan dan
kiri. Aku biarkan ia mengalir semakin deras. Tidak ku tahah. Aku jadikan air
mata tersebut sebagai pelebur emosi.
Beberapa waktu kemudian, saat
semuanya kembali normal. Saat hati dan pikiranku sudah kembali tenang, aku
diajak melihat suatu persoalan dari sudut yang berbeda. Disaat aku mendapat tanggung
jawab yang begitu banyak, itu berarti aku diyakini bahwa aku mampu
menyelesaikan tugas dan tanggung jawab itu. Kenapa harus aku? Kenapa bukan yang
lain? Karena aku orang yang mereka
percayai. Ingat, keperayaan itu mahal. Tidak ada rupiah atau mata uang manapun
yang dapat membelinya. Jika sekali saja terkhinati, ia tidak akan kembali
sempurna.
Dari kejadian itu aku disadarkan
banyak hal. Sebangian besar dari kita (termasuk aku) terlalu banyak
menghabiskan waktu untuk mengeluh bukan bersyukur. Padahal nikmat yang Tuhan
berikan tidak terkira jumlahnya. Sedangkan apa yang dikeluhkan hanya
persoalan-persoalan sederhana.
"Maka nikmat Tuhan yang mana yang kamu dustakan?"
Dan disaat kita merasa lelah akan
rutinitas, kita harus ingat bahwa tidak ada kesuksesan yang diraih dengan
bersantai, duduk diam kemudian sukses. Hampir mustahil. Kesuksesan itu butuh usaha,
kerja keras, dan tahan banting. Dan apabila kerja kerasmu tidak sesuai dengan imbalan atau
fee yang diperoleh, mungkin Tuhan yang
akan mengggantikannya dengan nikmat yang lain, seperti: kesehatan, prestasi, keluarga
yang harmonis, kehidupan yang diberkahi dan
lainnya. Karena tidak jarang kita temui mereka yang memiliki penghasilan berkali-kali
lipat namun diuji dengan kesehatan, keluarga yang tercerai-berai atau ujian lainnya.
Tidak perlu lagi kita
membadingkan rumput mana yang lebih hijau, apakah milik kita atau milik orang
lain? Karena sejatinya kebahagiaan bukan diukur dari materi atau deretan
penghargaan, melainkan dari seberapa sering kita bersyukur. Toh mereka yang
bergelimang harta tetap tidak merasa bahagia bila tidak mensyukurinya. Sebaliknya
mereka yang hidup sederhana bisa lebih berbahagia bila mensyukuri setiap karunia-Nya.
Bila kita sadari diluar sana, banyak yang menglami
hal yang lebih rumit, hanya saja mereka tidak mengeluh dan menjalaninya dengan
sabar dan ikhlas.
Mulai sekarang, detik ini, mari sama-sama kita ubah kebisaan mengeluh dengan bersyukur. Bersyukur atas segala nikmat dan pemberian dari Yang Maha Kuasa. Bersyukur atas segala pencapain, karena semuanya itu tidak lepas dari campur tangan Tuhan. Semoga kita tidak termasuk golongan yang kufur nikmat. Aamiin...
Kebahagiaan itu diciptakan, bukan dicari.
No comments:
Post a Comment