Monday, April 27, 2015

My Trip My Adventure: Papandayan

Beberapa waktu lalu, aku sempat memposting beberapa dream list dalam diary onlineku. Aku juga pernah mengutarakannya di jejaring sosial instagram. Salah satu point yang aku tulis yaitu keinginanku untuk menapaki tanah tiang-tiang langit.

Tak lama setelah tulisan ini dapat dikonsumsi publik, aku mendapat tawaran untuk menikmati lukisan Maha Indah Sang Kuasa. Hal itu merupakan kesempatan untuk mencoret dan mewujudkan salah satu dream list yang kubuat.

Cerita bersejarah itu berawal dari sahabat sejak SMKDesti yang mengirim pesan WhatsApp menanyakan apakah aku mau meminjamkan jaket untuk dipakainya mendaki. Setelah aku memberikan lampu hijau untuk memakai jaket tersebut, ia menjelaskan tujuan pendakiannya dan menawarkan padaku rencana  tersebut. Saat membaca tawaran tersebut aku seperti orang yang berkeinginan sekali untuk mendaki gunung dan keinginan tersebut selangkah lebih dekat. Bahagia sekali, sampai kegirangan sendiri. Nyengir – nyengir kaya abege yang baru ditembak gebetannya hahaha.

Aku tidak sanggup menolak tawaran emas itu. Ini kesempatan yang sudah aku nanti dengan kesabaran layaknya menunggu jodoh datang yakali sudah menunggu bertahun-tahun giliran datang ditolak. Padahal sebelumnya aku sudah memiliki wacana melepas penat bersama teman-teman kampus. Dengan berat hati dan penuh rasa “tidak enak”, aku memberanikan diri meminta maaf karena tidak bisa berpartisipasi dalam rencana tersebut. Dan kalian tahu apa yang terjadi? Beberapa dari kami juga berbenturan kepentingan. Jadi rencana berlibur bersama mereka dibatalkan. Alhamdulillah akhirnya tidaka ada yang harus aku korbankan.

Masih ada waktu sekitar 2 minggu dari tawaran tersebut menuju hari H. Pada kesempatan itu aku join bersama rombongan open trip Pasnyandak Outdoor. Aku mengontak salah satu panitiabang Buyung dan Alhamdulillah masih tersisa kuota. Singkat cerita selama 2 minggu itu, aku menyiapakan segala persiapan. Mulai dari mental, fisik, sampai keperluan lainnya. Dari aku yang ga pernah olahraga alibi kerja dan kuliah dari Minggu sampai Senin akhirnya bisa memanfaatkan jadwal kosong untuk melemaskan otot-otot sekaligus menghirup segarnya udara pagi.

Akhirnya, hari yang dinanti pun tiba, Jumat 3 April 2015. Sebelum berangkat aku mencocokkan barang bawaan dengan check list. Aku hanya membawa peralatan pribadi seperti sleeping bag, matras, pakaian ganti, jas hujan, senter, jaket, sarung tangan, masker, kaos kaki, obat pribadi, trash bag/ kresek dan cemilan. Perlengkapan lainnya seperti tenda, nesting, kompor dan lainnya sudah difasilitasi oleh pihak penyelenggara.

Stasiun Manggarai
Ba’da Ashar, aku bersama Desti bergegas ke stasiun kranji menuju lokasi meeting point di Lenteng Agung. Pukul 17:00 aku dan Desti sudah transit di stasiun Manggarai. Disana Desti sudah membuat janji dengan keempat teman dari kampusnya. Detik demi detik hingga beralih menajadi satuan jam kami menanti kedatangan mereka. Citra pun datang. Selanjutnya Diana kemudian disusul Adel. Dan yang paling menguras kesabaran Ririn. Akhirnya setelah pukul 20:00 penantian kami bisa diakhiri.

Sekitar pukul 22:00 rombongan kami yang terdiri dari ±57 peserta yang berasal dari berbagai asal —mahasiswa UNJ, mahasiswa UIKA, pelajar SMA de el el memulai perjalanan ke Garut. Kami dipecah menjadi dua rombongan. Rombongan yang menumpang mobil help berisi penumpang perempuan yang dipawangi oleh bang Al. Dan sisanya rombongan yang menumpang mobil tronton angkatan.

Sekitar pukul 03:00 dini hari rombongan help sudah sampai di Cisarupan. Selama beberapa waktu kami menunnggu rombongan tronton disana. Mobil tronton tidak dibolehkan untuk menuju lokasi, sehingga harus bergantian menumpang help. Rombongan help diantar menuju warung-warung di sekitar pos awal pendakian terlebih dahulu, kemudian disusul rombongan tronton. Dinginnya udara pegunungan sudah kami rasakan. Untuk mengusirnya dengan terus melakuakan gerakan, baik loncat-loncat, lari-lari kecil atau hal serupa lainya. Anggap saja persiapan awal sebelum pendakian. Saat itu jumlah pendaki sepertinya membludak. Kami banyak menemui rombongan lain yang mampir di warung untuk sekadar menghangatkan tubuhnya dengan menikamti segelas kopi atau teh ditemani gorengan yang masih mengeluarkan asap tipisnya.

Setelah semua peserta kumpul, re-packing carier, memanjakan cacing-cacing perut, dan segala persiapan lainnya terpenuhi, kami memulai langkah awal pendakian dari Camp David pada pukul 08:00. Sebelum mendaki, bang Al memberikan pesan-pesan: bahwa kami adalah tim; sebisa mungkin menekan ego; bila salah satu ada yang merasa lelah maka seluruh peserta berhenti untuk beristirahat; lupakan sejenak rasa jijik; jangan bunuh apapun kecuali waktu, jangan ambil apapun kecuali gambar, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak, jangan membakar apapun kecuali semangat; dan dari perjalana ini kita bisa melihat sifat-sifat asli, apakah dia yang kamu anggap “teman” benar teman? 

Bang Al juga memberikan “vitamin” kepada para pendaki cantik, bahwa wanita akan terlihat lebih menawan dengan carier di punggunggungnya, bukan dengan tas belanjaan di tangan kanan dan kirinya.
Foto awal sebelum pendakian
Trek awal pendakian berupa jalan menanjak berbatu dengan pemandangan sekitar kawah yang masih aktif. Pada trek Brother Hood ini hampir tidak kita jumpai pepohonan. Matahari yang semakin tinggi membuat keadaan semakin terasa gersang dan membuat kucuran keringat semakin deras. Rasa letih memang ada, namun tidak terlalu terasa. Karena kami menikmati perjalanan ini dan saling memberikan semangat. Kami juga tidak terlalu memforsir, karena sebagian besar dari kami merupakan pendaki pemula. Karena bukan soal kecepatan mencapai puncak tapi bagaimana kita bersama untuk mencapai puncak terlebih sebagian besar dari kami belum saling mengenal. Sepanjang perjalanan tak jarang kita akan mendapatkan asupan semangat  dan tebaran senyum dari sesama pendaki. Kita juga akan sering menemui sepeda motor yang berlalu lalang. Atraksi yang cukup menakjubkan, mengingat medan yang ditempuh adalah jalan kecil bebatu dan terjal.
Brother Hood

Trek pendakian
Setelah 4 jam pendakian dengan jumlah istirahat yang tidak terhitung jumlahnya, akhirnya kami sampai di camp Saladah. Lokasi ini berupa dataran yang cukup luas, banyak ditumbuhi edelweiss dan terdapat saluran air bahkan tersedia 3 toilet umum sehingga sangat cocok untuk mendirikan tenda. Setibanya disana kami disuguhkan dengan warna-warni rarusan tenda yang membentang dari segala sisi. Hujan turun menyambut kadatangan kami hingga malam hari. Niat awal untuk menyaksikan sunset, gerhana bulan, hamburan bintang, dan hiasan langit malam lainnya pun harus dikubur dalam-dalam seperti mengubur kenangan bersama mantan.

Ada kejadian yang membuatku sedikit panik. Bermula saat Desti, Diana, dan Elfa yang berniat untuk ke kamar kecil serta aku dan Citra yang ingin memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim. Karena bagaimanapun tujuan kegiatan di alam bebas adalah mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Untuk bisa menggunakan fasilitas toilet dibutuhakan kesabaran mengantre 1 jam lamanya bahkan lebih, karena banyaknya jumlah pendaki. Aku dan Citra sudah selesai lebih dulu, sembari menunggu teman yang mengantre aku berbincang-bincang ringan dengan pendaki lain. Kemudian aku memutuskan untuk menyusul mengambil antrean. Desti, Diana, Citra dan Elfa sudah menyelesaikan keperluannya, dan aku meminta mereka untuk kembali ke tenda lebih dulu dan membiarkan aku sendiri. Ketika aku keluar toilet bersamaan dengan waktu Maghrib. Langsung saja aku mensucikan diri kembali. Langit sudah gelap, hujan masih enggan berhenti membasahi tanah, dan aku tidak membawa persiapan. Untungnya di saku tas kecilku ada handphone dan power bank yang bisa membantuku memberi penerangan untuk kembali ke tenda.

Karena banyaknya tenda dan minimnya penerangan, aku salah mengambil arah. Aku menyadarinya. Namun aku bingung jalan mana yang harus aku ambil. Sangat tidak lucu bila aku tersesat di lokasi yang tidak ditemukan pusat informasi layaknya pusat perbelanjaan. Aku mengecek layar handphone berharap memperoleh sinyal, namun sia-sia. Rasa panik mulai menghampiri. Perlahan-lahan aku mencoba menenangkan diri. Aku kembali ke sekitar toilet dan mengulang langkah. Berusaha mengingat jalan dengan mengandalkan isnting. Terikan Desti dan beberapa teman lain yang memanggil-manggil namaku membuatku semakin yakin bahwa aku benar-benar sudah menemukan jalan. Desti mengungkapkan penyesalannya yang membiarkan aku sendiri. Ia juga menjelaskan rencananya yang akan melapor perihal tersebut pada pihak panitia. Padahal keputusan tersebut aku yang buat. Positifnya lewat kejadian ini, Engkau meyakinkan aku bahwa ia memanglah sebenar-benarnya teman.

Keesokan harinya aku dan beberapa teman lainnya menikmati dinginnya embun pagi Pondok Saladah. Segar sekali udaranya. Yang aku kagumi, aku banyak bertemu dengan pendaki yang ramah. Meskipun belum pernah berjumpa, entah dari mana asalnya, saling menyapa tidak pernah terlewatkan. Bahkan saat kami sedang hunting foto ada yang menawarkan kami untuk sarapan bersama. Sungguh hal yang jarang sekali aku temui di kehidupan sehari-hari.
Pondok Saladah

Foto bersama rombongan pendaki lain
Isi amunisi sebelum melanjutkan perjalanan
Foto sebelum menuju Hutan Mati
Sekitar pukul 12:30 kami bersiap ke Hutan Mati sekaligus langsung turun menuju Camp David. Kami mengurungkan niat untuk mencapai puncak dikarenakan trek yang licin karena bekas hujan dan memburu waktu agar kembali ke Jakarta tidak terlalu malam.

Perjalanan dari Camp Saladah ke Hutan Mati tidak terlalu jauh. Sekitar 30 menit kami sudah sampai. Sejauh mata memandang hanya terlihat batang-batang pohon dan gumpalan kabut yang memenuhi sebagian sisi. Dari lokasi ini kita dapat melihat dengan jelas beberapa puncak papandayan memang tidak hanya memiliki satu puncak dan kawah yang masih mengeluarkan uap.


Keadaan Hutan Mati




Setelah puas berfoto, kami langsung turun dengan rute yang berbeda saat naik. Kami memilih rute forbodden melewati sisi tebing terjal, yang mana jalan berbatu dan berpasir. Meskipun demikian banyak pendaki yang juga melewati. Mungkin karena rute ini termasuk rute singkat. Hanya satu setengah jam sudah termasuk istirahat kami sampai di Camp David.

Ribuan langkah telah yang kami tapaki, beban carier yang kami pikul, kucuran keringat yang membasahi tubuh, udara dingin yang menusuk tulang telah kami lewati. Meskipun puncak belum kami raih, namun tak mengapa. Dari perjalanan ini aku belajar bahwa pendaki sejati bukan yang mengaku menaklukkan puncak tertinggi namun mereka yang mampu menaklukkan diri sendiri dari rasa lelah dan menyerah. Semua keindahan yang tersaji di hadapanku mampu membuka mataku dan menyadarkanku akan besarnya kuasaMu. Memang alam tidak pernah membuat pecintanya kecewa.

Terimakasih Pasnyandak Outdoor atas kesempatannya. Terimakasih bang Buyung yang selalu menebar tawa bahagia. Terimakasih bang Al yang selalu menjadi penolong saat lapar dan terimakasih juga untuk abang-abang panitia dan teman-teman baru yang tidak akan selesai bila disebut satu per satu untuk 3 hari istimewanya. 



Salam Lestari.

Mariani Yuni Susilo Wenti
@marianiyuniSW


1 comment:

  1. Happy Fun...
    Muncak mulu.. kapan nge-Trip di airnya... hehe
    Perkenalkan saya Chindi dari cv. arung jeram serayu. Kami ingin menawarkan paket rafting buat kalian yang suka adventure nih.. jangan cuma muncak / naik mulu, nyobain yang diair juga. Dijamin seru dan puas. Ada diskonnya juga lhoo buat kalian yang masih pelajar dan weekday, buruaannnn kami tunggu konfirmasinya. Info lanjut kalian bisa menghubungi kami atau mengunjungi website kami. Terimakasih

    Phone : 087 715 387 029 ( Chindi )
    Bbm : 56BF089F
    Website : www.arungjeramserayu.com

    Salam nge-Trip aerrr....

    ReplyDelete