Tak
lama setelah tulisan ini dapat dikonsumsi publik, aku mendapat tawaran
untuk menikmati lukisan Maha Indah Sang Kuasa. Hal itu merupakan kesempatan
untuk mencoret dan mewujudkan salah satu dream
list yang kubuat.
Cerita
bersejarah itu berawal dari sahabat sejak SMK—Desti yang mengirim pesan WhatsApp
menanyakan apakah aku mau meminjamkan jaket untuk dipakainya mendaki. Setelah
aku memberikan lampu hijau untuk memakai jaket tersebut, ia menjelaskan tujuan
pendakiannya dan menawarkan padaku rencana
tersebut. Saat membaca tawaran tersebut aku seperti orang yang
berkeinginan sekali untuk mendaki gunung dan keinginan tersebut selangkah lebih
dekat. Bahagia sekali, sampai kegirangan sendiri. Nyengir – nyengir kaya abege
yang baru ditembak gebetannya hahaha.
Aku
tidak sanggup menolak tawaran emas itu. Ini kesempatan yang sudah aku nanti
dengan kesabaran layaknya menunggu jodoh datang —yakali sudah menunggu bertahun-tahun giliran datang
ditolak. Padahal sebelumnya aku sudah memiliki wacana melepas penat bersama
teman-teman kampus. Dengan berat hati dan penuh rasa “tidak enak”, aku
memberanikan diri meminta maaf karena tidak bisa berpartisipasi dalam rencana
tersebut. Dan kalian tahu apa yang terjadi? Beberapa dari kami juga berbenturan
kepentingan. Jadi rencana berlibur bersama mereka dibatalkan. Alhamdulillah akhirnya tidaka ada yang harus aku korbankan.
Masih
ada waktu sekitar 2 minggu dari tawaran tersebut menuju hari H. Pada kesempatan
itu aku join bersama rombongan open trip Pasnyandak Outdoor. Aku mengontak
salah satu panitia—bang Buyung dan Alhamdulillah masih
tersisa kuota. Singkat cerita selama 2 minggu itu, aku menyiapakan segala
persiapan. Mulai dari mental, fisik, sampai keperluan lainnya. Dari aku yang ga
pernah olahraga —alibi kerja dan kuliah dari Minggu
sampai Senin akhirnya bisa memanfaatkan jadwal kosong untuk melemaskan
otot-otot sekaligus menghirup segarnya udara pagi.
Akhirnya,
hari yang dinanti pun tiba, Jumat 3 April 2015. Sebelum berangkat aku
mencocokkan barang bawaan dengan check
list. Aku hanya membawa peralatan pribadi seperti sleeping bag, matras, pakaian ganti, jas hujan, senter, jaket, sarung
tangan, masker, kaos kaki, obat pribadi, trash
bag/ kresek dan cemilan. Perlengkapan lainnya seperti tenda, nesting,
kompor dan lainnya sudah difasilitasi oleh pihak penyelenggara.
Stasiun Manggarai |
Ba’da
Ashar, aku bersama Desti bergegas ke stasiun kranji menuju lokasi meeting point
di Lenteng Agung. Pukul 17:00 aku dan Desti sudah transit di stasiun Manggarai.
Disana Desti sudah membuat janji dengan keempat teman dari kampusnya. Detik
demi detik hingga beralih menajadi satuan jam kami menanti kedatangan mereka.
Citra pun datang. Selanjutnya Diana kemudian disusul Adel. Dan yang paling
menguras kesabaran Ririn. Akhirnya setelah pukul 20:00 penantian kami bisa
diakhiri.
Sekitar
pukul 22:00 rombongan kami yang terdiri dari ±57 peserta yang berasal dari berbagai
asal —mahasiswa UNJ, mahasiswa UIKA, pelajar SMA de
el el memulai perjalanan ke Garut. Kami dipecah menjadi dua rombongan.
Rombongan yang menumpang mobil help —berisi penumpang perempuan yang
dipawangi oleh bang Al. Dan sisanya rombongan yang menumpang mobil tronton
angkatan.
Sekitar
pukul 03:00 dini hari rombongan help sudah sampai di Cisarupan. Selama beberapa
waktu kami menunnggu rombongan tronton disana. Mobil tronton tidak dibolehkan
untuk menuju lokasi, sehingga harus bergantian menumpang help. Rombongan help
diantar menuju warung-warung di sekitar pos awal pendakian terlebih dahulu,
kemudian disusul rombongan tronton. Dinginnya udara pegunungan sudah kami
rasakan. Untuk mengusirnya dengan terus melakuakan gerakan, baik loncat-loncat,
lari-lari kecil atau hal serupa lainya. Anggap saja persiapan awal sebelum
pendakian. Saat itu jumlah pendaki sepertinya membludak. Kami banyak menemui
rombongan lain yang mampir di warung untuk sekadar menghangatkan tubuhnya
dengan menikamti segelas kopi atau teh ditemani gorengan yang masih
mengeluarkan asap tipisnya.
Setelah
semua peserta kumpul, re-packing carier, memanjakan cacing-cacing perut, dan
segala persiapan lainnya terpenuhi, kami memulai langkah awal pendakian dari Camp David pada pukul 08:00. Sebelum mendaki, bang Al memberikan pesan-pesan:
bahwa kami adalah tim; sebisa mungkin menekan ego; bila salah satu ada yang
merasa lelah maka seluruh peserta berhenti untuk beristirahat; lupakan sejenak rasa jijik; jangan bunuh apapun kecuali waktu, jangan ambil apapun kecuali gambar, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak, jangan membakar apapun kecuali semangat; dan dari perjalana ini kita bisa melihat sifat-sifat asli,
apakah dia yang kamu anggap “teman” benar teman?
Bang Al juga memberikan
“vitamin” kepada para pendaki cantik, bahwa wanita akan terlihat lebih menawan
dengan carier di punggunggungnya, bukan dengan tas belanjaan di tangan kanan
dan kirinya.
Foto awal sebelum pendakian |
Trek
awal pendakian berupa jalan menanjak berbatu dengan pemandangan sekitar kawah
yang masih aktif. Pada trek Brother Hood ini hampir tidak kita jumpai
pepohonan. Matahari yang semakin tinggi membuat keadaan semakin terasa gersang
dan membuat kucuran keringat semakin deras. Rasa letih memang ada, namun tidak
terlalu terasa. Karena kami menikmati perjalanan ini dan saling memberikan
semangat. Kami juga tidak terlalu memforsir, karena sebagian besar dari kami
merupakan pendaki pemula. Karena bukan soal kecepatan mencapai puncak tapi bagaimana kita bersama untuk mencapai puncak terlebih sebagian besar dari kami belum saling mengenal. Sepanjang perjalanan tak jarang
kita akan mendapatkan asupan semangat
dan tebaran senyum dari sesama pendaki. Kita juga akan sering menemui
sepeda motor yang berlalu lalang. Atraksi yang cukup menakjubkan, mengingat
medan yang ditempuh adalah jalan kecil bebatu dan terjal.
Brother Hood |
Trek pendakian |
Setelah
4 jam pendakian dengan jumlah istirahat yang tidak terhitung jumlahnya,
akhirnya kami sampai di camp Saladah. Lokasi ini berupa dataran yang cukup
luas, banyak ditumbuhi edelweiss dan terdapat saluran air bahkan tersedia 3
toilet umum sehingga sangat cocok untuk mendirikan tenda. Setibanya disana kami
disuguhkan dengan warna-warni rarusan tenda yang membentang dari segala sisi. Hujan
turun menyambut kadatangan kami hingga malam hari. Niat awal untuk menyaksikan
sunset, gerhana bulan, hamburan bintang, dan hiasan langit malam lainnya pun
harus dikubur dalam-dalam seperti mengubur kenangan bersama mantan.
Ada
kejadian yang membuatku sedikit panik. Bermula saat Desti, Diana, dan Elfa yang
berniat untuk ke kamar kecil serta aku dan Citra yang ingin memenuhi kewajiban
sebagai seorang muslim. Karena bagaimanapun tujuan kegiatan di alam bebas adalah mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Untuk bisa menggunakan fasilitas toilet dibutuhakan
kesabaran mengantre 1 jam lamanya bahkan lebih, karena banyaknya jumlah
pendaki. Aku dan Citra sudah selesai lebih dulu, sembari menunggu teman yang
mengantre aku berbincang-bincang ringan dengan pendaki lain. Kemudian aku
memutuskan untuk menyusul mengambil antrean. Desti, Diana, Citra dan Elfa sudah
menyelesaikan keperluannya, dan aku meminta mereka untuk kembali ke tenda lebih
dulu dan membiarkan aku sendiri. Ketika aku keluar toilet bersamaan dengan
waktu Maghrib. Langsung saja aku mensucikan diri kembali. Langit sudah gelap,
hujan masih enggan berhenti membasahi tanah, dan aku tidak membawa persiapan.
Untungnya di saku tas kecilku ada handphone dan power bank yang bisa membantuku
memberi penerangan untuk kembali ke tenda.
Karena banyaknya tenda dan minimnya penerangan, aku salah
mengambil arah. Aku menyadarinya. Namun aku bingung jalan mana yang harus aku
ambil. Sangat tidak lucu bila aku tersesat di lokasi yang tidak ditemukan pusat
informasi layaknya pusat perbelanjaan. Aku mengecek layar handphone berharap
memperoleh sinyal, namun sia-sia. Rasa panik mulai menghampiri. Perlahan-lahan aku
mencoba menenangkan diri. Aku kembali ke sekitar toilet dan mengulang langkah.
Berusaha mengingat jalan dengan mengandalkan isnting. Terikan Desti dan
beberapa teman lain yang memanggil-manggil namaku membuatku semakin yakin bahwa
aku benar-benar sudah menemukan jalan. Desti mengungkapkan penyesalannya yang
membiarkan aku sendiri. Ia juga menjelaskan rencananya yang akan melapor
perihal tersebut pada pihak panitia. Padahal keputusan tersebut aku yang buat. Positifnya
lewat kejadian ini, Engkau meyakinkan aku bahwa ia memanglah sebenar-benarnya
teman.
Keesokan
harinya aku dan beberapa teman lainnya menikmati dinginnya embun pagi Pondok Saladah.
Segar sekali udaranya. Yang aku kagumi, aku banyak bertemu dengan pendaki yang
ramah. Meskipun belum pernah berjumpa, entah dari mana asalnya, saling menyapa
tidak pernah terlewatkan. Bahkan saat kami sedang hunting foto ada yang menawarkan kami untuk sarapan bersama.
Sungguh hal yang jarang sekali aku temui di kehidupan sehari-hari.
Pondok Saladah |
Foto bersama rombongan pendaki lain |
Isi amunisi sebelum melanjutkan perjalanan |
Foto sebelum menuju Hutan Mati |
Sekitar
pukul 12:30 kami bersiap ke Hutan Mati sekaligus langsung turun menuju Camp David.
Kami mengurungkan niat untuk mencapai puncak dikarenakan trek yang licin karena
bekas hujan dan memburu waktu agar kembali ke Jakarta tidak terlalu malam.
Perjalanan
dari Camp Saladah ke Hutan Mati tidak terlalu jauh. Sekitar 30 menit kami sudah
sampai. Sejauh mata memandang hanya terlihat batang-batang pohon dan gumpalan
kabut yang memenuhi sebagian sisi. Dari lokasi ini kita dapat melihat dengan
jelas beberapa puncak papandayan —memang tidak hanya memiliki satu
puncak dan kawah yang masih mengeluarkan uap.
Keadaan Hutan Mati |
Ribuan
langkah telah yang kami tapaki, beban carier yang kami pikul, kucuran keringat
yang membasahi tubuh, udara dingin yang menusuk tulang telah kami lewati. Meskipun puncak belum kami raih, namun tak mengapa. Dari perjalanan ini aku belajar bahwa pendaki sejati bukan yang mengaku menaklukkan puncak tertinggi namun mereka yang mampu menaklukkan diri sendiri dari rasa lelah dan menyerah. Semua keindahan yang tersaji di hadapanku mampu membuka mataku dan menyadarkanku akan besarnya
kuasaMu. Memang alam tidak pernah membuat pecintanya kecewa.
Terimakasih
Pasnyandak Outdoor atas kesempatannya. Terimakasih bang Buyung yang selalu
menebar tawa bahagia. Terimakasih bang Al yang selalu menjadi penolong saat
lapar dan
terimakasih juga untuk abang-abang panitia dan teman-teman baru yang tidak
akan selesai bila disebut satu per satu untuk 3 hari istimewanya.
Salam
Lestari.
Mariani
Yuni Susilo Wenti
@marianiyuniSW
Happy Fun...
ReplyDeleteMuncak mulu.. kapan nge-Trip di airnya... hehe
Perkenalkan saya Chindi dari cv. arung jeram serayu. Kami ingin menawarkan paket rafting buat kalian yang suka adventure nih.. jangan cuma muncak / naik mulu, nyobain yang diair juga. Dijamin seru dan puas. Ada diskonnya juga lhoo buat kalian yang masih pelajar dan weekday, buruaannnn kami tunggu konfirmasinya. Info lanjut kalian bisa menghubungi kami atau mengunjungi website kami. Terimakasih
Phone : 087 715 387 029 ( Chindi )
Bbm : 56BF089F
Website : www.arungjeramserayu.com
Salam nge-Trip aerrr....