Sunday, November 29, 2015

Kutipan Hujan Matahari

Kurniawan Gunadi. Nama yang saat ini sudah tidak asing di duani sastra. Dalam setiap tulisannya terselip pesan moral dan agama. Dengan sentilan lembutnya tak jarang membuatku seperti tertampar oleh kata-katanya,  terharu hingga nyaris menitihkan air mata.  

Buku pertamanya berupa kumpulan cerpen dan prosa yang berjudul “Hujan Matahari”. Dari sekian banyak prosa, ada dua yang cukup menarik perhatian.



Suatu Sore di Bawah Pohon Randu

Suatu sore yang indah, di bawah pohon randu yang berguguran daunnya. Sahabat kecilku berceloteh. Seperti seekor burung sawah yang berisik sambil terbang terbirit-birit. Ini seperti khotbah pengajian. Aku dan temanku yang lain duduk bersila mendengar sabda-sabdanya. Kami bertiga berkumpul di tempat yang sama sejak bertahun-tahun.

Dia, perempuan seorang diri diantara kami bertiga. Bertengger diatas akar yang besar. Dengan ganyanya yang mengatur, dia memberikan petuah kepada kami, laki-laki, tentang perempuan. Seolah-olah dia sedang membocorkan rahasia besar kaumnya sendiri kepada lawan utamanya, laki-laki. Kuharap dia masih ingat kalau dia seorang perempuan.

“Kalian kaum laki-laki harus paham kunci ini. Perempuan itu benar-benar menyukai kepastian.”

Sabdanya dimulai. Bila sudah begini, kami lebih baik diam. Tidak menyela satu pun kalimatnya.

“Anak gadis mana yang mau dipermainkan? Anak gadis mana yang mau digantungin? Cinta itu omong kosong jika tanpa kepastian.”

Matanya menatap tajam ke arah kami sambil jari-jarinya mengacungkan ranting kecil. Bila sudah begini kami harus memperhatikan.

“Kalian tahu? Kepastian itu bukan soal masa depan kalian gemilang atau bukan, bukan soal uang kalian banyak atau tidak, bukan soal itu. Tapi soal ini….”

Dia menunjuk dadanya.

“Kalian tahu, perempuan itu benar-benar menyukai kepastian. Dan Cuma satu saja yang perlu kalian pastikan.”

Kami saling tatap. Kemudian melihatnya yang tersenyum memancing kami untuk memaksanya memberi tahu.

“Bahwa hatinya aman di tangan kalian, bahwa kalian menjadikannya satu-satunya. Meski aku tahu mungkin itu agak bias karena kalian tentu memiliki hal lain. Setidaknya kalian harus memastikan bahwa kalian bertanggung jawab atas dirinya, terhadap perasaanya, dan terhadap hidupnya.

Pertanggungjawaban itu tidak hanya soal dunia, tapi disaksikan oleh Tuhan. Dan kepastian tertinggi itu dengan melibatkan Tuhan sebagai saksi, atas nama Tuhan kalian menjadikannya teman hidup disini, juga disana.”

Tangannya menunjuk ke langit. Dia diam sejenak.

“Kalian tahu, meski aku tomboy seperti ini, di dalam diriku ini tetaplah perempuan. Meskipun aku tahu kalian melihatkku sangat kuat dan tegar, sangat mandiri, aku merasa tetap membutuhkan sandaran, tempat dimana aku bisa merasa tenang. Ah, susah sekali menjelaskannya, kalian bukan perempuan, sih!”

Dia sebal sendiri. Aku mengacungkan tangan.

“Ya, ada apa?”

“Kira-kira apa yang harus kami lakukan kalau kami belum siap memberikan kepastian?” tanyaku.

Dia membetulkan posisi duduknya, kemudian mengacungkan ranting kayu ke depan mukaku.

“Jangan sekali-kali memberikan harapan. Camkan itu.”


Gunadi (2015 : 3)





Surat

Menjaga diri adalah hal yang paling sering alpa dari setiap kesempatan. Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah surel dari negeri nun jauh disana, dari seorang sahabat lawas yang tinggal di belahan bumi yang berbeda. Sebuah surat padat yang memaksaku duduk berlama-lama di depan komputer dan membacanya seribu kali.

Kamu terlalu baik kepada banyak lawan jenismu, kepada banyak perempuan. Membuat mereka terlalu nyaman didekatmu dan membuat mereka merasa aman untuk membuka cerita kepadamu.

Aku hanya sekadar mengingtkan, berhati-hatilah. Kamu menumbuhkan apa yang tidak meraka tanam. Perasaan aman dan nyaman itu lebih berbahaya dari perasaan cinta. Kau perlu tahu itu, Teman.

Bahwa aku mengenalmu sejak kecil adalah hal yang mebuatku paham padamu. Kau sudah merusak masa depan dirimu dan banyak perempuan. Mereka bisa saja memiliki perasaan masa lalu yang tumbuh ketika kamu sudah bersanding dengan orang lain.
Kau paham sesuatu?

Aku katakan sekali lagi, jangan terlalu baik kepada banyak perempuan. Sikapmu itu seperti bom waktu, tinggal menunggu kapan meledaknya. Jagalah dirimu lebih baik. Kau tidak perlu terlalu dekat kepada mereka semua jika sekadar ingin menjadi laki-laki yang baik, bukankah demikian?


Aku kehabisan kata-kata.



Gunadi (2015 : 63)


1 comment: