Kurniawan Gunadi. Nama yang saat ini sudah tidak asing di
duani sastra. Dalam setiap tulisannya terselip pesan moral dan agama. Dengan
sentilan lembutnya tak jarang membuatku seperti tertampar oleh kata-katanya, terharu hingga nyaris menitihkan air mata.
Buku pertamanya berupa kumpulan cerpen dan prosa yang
berjudul “Hujan Matahari”. Dari sekian banyak prosa, ada dua yang cukup menarik
perhatian.
Suatu Sore di Bawah Pohon Randu
Suatu sore yang indah, di bawah pohon randu yang berguguran
daunnya. Sahabat kecilku berceloteh. Seperti seekor burung sawah yang berisik
sambil terbang terbirit-birit. Ini seperti khotbah pengajian. Aku dan temanku
yang lain duduk bersila mendengar sabda-sabdanya. Kami bertiga berkumpul di
tempat yang sama sejak bertahun-tahun.
Dia, perempuan seorang diri diantara kami bertiga.
Bertengger diatas akar yang besar. Dengan ganyanya yang mengatur, dia
memberikan petuah kepada kami, laki-laki, tentang perempuan. Seolah-olah dia
sedang membocorkan rahasia besar kaumnya sendiri kepada lawan utamanya,
laki-laki. Kuharap dia masih ingat kalau dia seorang perempuan.
“Kalian kaum laki-laki harus paham kunci ini. Perempuan itu
benar-benar menyukai kepastian.”
Sabdanya dimulai. Bila sudah begini, kami lebih baik diam.
Tidak menyela satu pun kalimatnya.
“Anak gadis mana yang mau dipermainkan? Anak gadis mana yang
mau digantungin? Cinta itu omong
kosong jika tanpa kepastian.”
Matanya menatap tajam ke arah kami sambil jari-jarinya
mengacungkan ranting kecil. Bila sudah begini kami harus memperhatikan.
“Kalian tahu? Kepastian itu bukan soal masa depan kalian
gemilang atau bukan, bukan soal uang kalian banyak atau tidak, bukan soal itu.
Tapi soal ini….”
Dia menunjuk dadanya.
“Kalian tahu, perempuan itu benar-benar menyukai kepastian.
Dan Cuma satu saja yang perlu kalian pastikan.”
Kami saling tatap. Kemudian melihatnya yang tersenyum
memancing kami untuk memaksanya memberi tahu.
“Bahwa hatinya aman di tangan kalian, bahwa kalian
menjadikannya satu-satunya. Meski aku tahu mungkin itu agak bias karena kalian
tentu memiliki hal lain. Setidaknya kalian harus memastikan bahwa kalian
bertanggung jawab atas dirinya, terhadap perasaanya, dan terhadap hidupnya.
Pertanggungjawaban itu tidak hanya soal dunia, tapi
disaksikan oleh Tuhan. Dan kepastian tertinggi itu dengan melibatkan Tuhan
sebagai saksi, atas nama Tuhan kalian menjadikannya teman hidup disini, juga
disana.”
Tangannya menunjuk ke langit. Dia diam sejenak.
“Kalian tahu, meski aku tomboy seperti ini, di dalam diriku
ini tetaplah perempuan. Meskipun aku tahu kalian melihatkku sangat kuat dan
tegar, sangat mandiri, aku merasa tetap membutuhkan sandaran, tempat dimana aku
bisa merasa tenang. Ah, susah sekali menjelaskannya, kalian bukan perempuan,
sih!”
Dia sebal sendiri. Aku mengacungkan tangan.
“Ya, ada apa?”
“Kira-kira apa yang harus kami lakukan kalau kami belum siap
memberikan kepastian?” tanyaku.
Dia membetulkan posisi duduknya, kemudian mengacungkan
ranting kayu ke depan mukaku.
“Jangan sekali-kali memberikan harapan. Camkan itu.”
Gunadi (2015 : 3)
Surat
Menjaga diri adalah hal yang paling sering alpa dari setiap
kesempatan. Beberapa waktu yang lalu, ada sebuah surel dari negeri nun jauh
disana, dari seorang sahabat lawas yang tinggal di belahan bumi yang berbeda.
Sebuah surat padat yang memaksaku duduk berlama-lama di depan komputer dan
membacanya seribu kali.
Kamu terlalu baik
kepada banyak lawan jenismu, kepada banyak perempuan. Membuat mereka terlalu
nyaman didekatmu dan membuat mereka merasa aman untuk membuka cerita kepadamu.
Aku hanya sekadar
mengingtkan, berhati-hatilah. Kamu menumbuhkan apa yang tidak meraka tanam.
Perasaan aman dan nyaman itu lebih berbahaya dari perasaan cinta. Kau perlu
tahu itu, Teman.
Bahwa aku mengenalmu
sejak kecil adalah hal yang mebuatku paham padamu. Kau sudah merusak masa depan
dirimu dan banyak perempuan. Mereka bisa saja memiliki perasaan masa lalu yang
tumbuh ketika kamu sudah bersanding dengan orang lain.
Kau paham sesuatu?
Aku katakan sekali
lagi, jangan terlalu baik kepada banyak perempuan. Sikapmu itu seperti bom
waktu, tinggal menunggu kapan meledaknya. Jagalah dirimu lebih baik. Kau tidak
perlu terlalu dekat kepada mereka semua jika sekadar ingin menjadi laki-laki
yang baik, bukankah demikian?
Aku kehabisan kata-kata.
Gunadi (2015 : 63)
Keren..
ReplyDelete