Penghujung Ramadhan pun tiba,
suara takbir mendengung dari berbagai sisi. Ledakan petasan pun tak kalah
meriah menandingi gema takbir. Bahkan tak jarang riuhnya mengalahi lantunan
takbir. Malam itu, rasa bahagia bercampur sedih menyelinap dalam dada. Bahagia
karena hari kemenangan sudah di depan mata. Hari dimana seluruh insan saling
meminta maaf dan memaafkan hingga digambarkan seperti bayi yang baru lahir, suci.
Sedih karena pada kesempatan itu, dimana setiap kebaikan mendapat balasan
berlipat aku kurang memaksimalkan waktu untuk beribadah dan berbuat amal salih.
Shalat Tarawih banyak kutinggalkan, bukan hanya karena halangan sebagai seorang
wanita, namun rasa lelah setelah melakukan aktivitas pun kujadikan alibi. Astaghfirullahaladzim.
Solo |
Ramadhan, bulan penuh berkah lagi
kemuliaan telah kita lalui. Berganti dengan Syawal, bulan kemenangan. Kegitan
mudik seakan menjadi tradisi masyarakat Indonesia untuk melewati hari
kemenangan dengan berkumpul bersama sanak keluarga. Begitupula dengan keluargaku.
Kami menyempatkan untuk bersilaturahmi ke Karanganyar Solo dan Banjarnegara.
Aku dan keluarga sudah
meninggalkan keramaian ibu kota sejak H-5. Destinasi pertama kami silaturahmi
ke Karanganyar Solo (tanah kelahiran Mama). Pukul 10:00 WIB kami memulai
perjalanan darat dan sampai tujuan bertepatan dengan berkumandangnya adzan
Subuh pada hari berikutnya, sekitar pukul 04:30 WIB. 18,5 jam, perjalanan yang
cukup lancar.
Mbah diantara makan mbah putri (kiri) dan mbah buyut(kanan) |
Aktifitas kami selama di Solo
tidak jauh berbeda dari tahun ke tahun. Bersilaturahmi ke rumah sanak keluarga
di desa serta menyempatkan membersihkan makam para pendahulu kami, sosok yang belum
sempat aku tatap wajahnya (nenek dan buyut) seakan sudah menjadi kegiatan rutin.
Walaupun aku belum pernah memandang
sosok hangat penuh kasih, namun aku yakin cinta Beliau padaku tak akan tergerus
oleh waktu. Mereka akan slalu menyayangiku,mengasihiku, menjagaku dari
syurgaNya. Begitu pula denganku, memanjat do’a sebagai penghubung antar dunia,
duniaku dan dunianya.
Kamboja putih yang aku temukan di makam. |
Setelah lima hari menikmati
suasana Solo, tepatnya setelah salat Iedul Fitri kami melanjutkan perjalanan
berikutnya, Banjarnegara (tanah kelahiran Bapak). Kami menempuh perjalanan
selama delapan jam. Keesokan paginya, kami merealisasikan rencana kami yang
sudah sejak dulu terpendam *ini kalimatnya agak lebay, maklum pemendam rasa*
Oke kembali ke topik…
Sudah sejak setahun lalu aku merencanakan
untuk menjajaki dataran tinggi Dieng. Berawal dalam perjalanan dari
Banjarnegara menuju Solo melewati Wonosobo tahun lalu. Aku terpukau pada pesona
pemandangan alamnya. Sejuk, asri, alami. Seakan member kenyamanan dan
ketenangan jiwa. Tak hanya itu, disana juga masih banyak ditemukan peninggalan
peradaban sebelumnya, seperti: candi, gua, dan batu/prasasti.
Di tahun ini, anganku tak hanya
sekadar melayang dalam angan, namun bisa aku capai. Aku pergi bersama delapan orang lainnya, termasuk keluargaku. Butuh waktu sekitar satu
sampai dua jam untuk sampai di lokasi dari rumah kakekku. Bukan main, keindahan
alam yang ditawarkan seakan membuka mataku, betapa besar kuasaMu Tuhan. Tak
lelah aku memuji lukisan indah alamMu. Subhanallah.
Kawah Candradimuka |
Dieng menawarkan berbagai macam
destinasi wisata. Kami memilih kawah Candradimuka sebagai destinasi wisata
pertama. Menurut cerita pewayangan, kawah Candradimuka merupakan tempat
Gatutkaca direbus supaya kuat. Setelah direbus dikisahkan Gatutkaca memiliki
otot kawat tulang besi. Tidak mudah
menuju lokasi tersebut. Kami harus menempuh track
naik dengan kemiringan 30-40 derajat dengan jalan berbatu dan tanah yang cukup labil untuk
ditapaki. Tetapi rasa lelah seakan hilang begitu sampai di puncak bukit. Kami
dapat melihat sebuah kawah aktif yang menyelinap dibawah bukit lengkap dengan
asap dan aroma belerang khasnya. Kawah Candradimuka memiliki keunikan
tersendiri. Memiliki letupan air panas mirip sumber air panas.
Namun kami tidak berlama-lama di
lokasi tersebut, karena kami harus membagi waktu untuk bisa menjajaki lokasi
wisatal ainnya. Pesona alam dan udara sejuknya seakan menahan kami agar tidak
meninggalkan lokasi tersebut.
peta lokasi telaga warna |
Telaga Warna |
Telaga warna menjadi destinasi
kedua kami. Sebelumnya aku pernah mencari tahu informasi mengenai lokasi
tersebut dari berbagai sumber internet. Darisana aku mengetahui bahwa telaga
warna memiliki tujuh warna air. Dan pada
bulan-bulan tertentu kita dapat menemukan butiran butiran salju bertebaran di
atas telaga tersebut. Indah bukan? Namun saat aku datangi, aku hanya melihat
dua warna saja. Hijau dan putih. Menurut masyarakat setempat, hilangnya warna
tersebut dikarenakan uranium yang berada dalam telaga tersebut sudah diambil
oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi. Di
lokasi tersebut tidak hanya menawarkan pesona telaga warna, namun masih ada
objek wisata lain yang juga tak kalah memanjakan mata, seperti: telaga
Pengilon, bukit Sidengkeng, gua Semar, dan lainnya.
Telaga Pengilon |
Selanjutnya kami menuju candi
Arjuna dan kawah Sikidang. Tidak seperti kawah Candradimuka, kawah Sikidang
memiliki jumlah pengunjung yang jauh lebih banyak. Mungkin karena medannya yang
mudah ditempuh dengan kendaraan dan lokasinya yang lebih luas. Oh ya, disana
ada sesuatu yang cukup ajaib buat aku. Jadi ketika kami tertawa, ada uap seperti
asap keluar dari rongga mulut. Seperti berada diluar negeri. Padahal itu reaksi
akibat suhu disekitar yang rendah. Agak norak si kelihatannya, aku berusaha
terus menurus untuk tertawa, setidaknya untuk mengatakan “HAA” pada yang lain.
Kawah Sikidang |
Menurut legenda, ada sejarah
terbentuknya kawah Sikidang. Ratusan tahun lalu, hidup seorang putri cantik
jelita dan kaya raya bernama Shinta Dewi. Paras cantiknya terkenal sampai
kemana-mana. Hingga pada suatu saat ada seorang pangeran sakti dan kaya raya
yang memiliki fisik besar nan gagah ingin melamar sang putri. Lamaran pangeran
Kidang Garungan ditolak sang putri lantaran kepalanya tidak seperti manusia,
melainkan mirip kijang. Putri pun memutar otak untuk menolaknya. Hingga
akhirnya ia mengajukan syarat untuk dibuatkan sumur yang besar dan dalam dalam
waktu satu hari. Saat sumur itu sudah hampir selesai, putri memerintahkan
pengawalnya untuk menimbunnya dengan tanah.
Ketika seluruh tubuh pangeran sudah tertimbun tanah, pangeran
mengerahkan kesaktiannya untuk bisa keluar. Tak ayal sumur itu pun meledak hingga tanah berhamburan keluar.
Sebelum sang pangeran meninggal tertimbun tanah, ia bersumbah bahwa seluruh
keturunan Shinta Dewi akan berambut gimbal. Dan sumur yang meledak tersebut
lama-kelamaan membentuk kawah yang dinamakan kawah Sikidang.
Di lokasi tesebut kita banyak menjumpai
penjual yang menawarkan hasil perkebunan sekitar, seperti: carica, kentang,
wortel, dan lainnya. Di lokasi tersebut kita juga dapat menemukan sesuatu yang
dapat dijadikan objek foto, seperti: kuda, gorilla (palsu), motor, dan masih
banyak lagi.
Semburat merah mulai mewarnai
birunya langit. Menandakan sang mentari sudah bersiap-siap untuk kembali ke
persembunyiannya. Terasa berat meninggalkan tanah Dieng. Masih banyak
destinasi yang belum kami kunjungi. Bukit Sikunir misalnya. Bukit yang konon
memiliki pesona matahari terbit yang sangat memukau. Namun perjalanan harus
berhenti disini. Karena kami memiliki
kegiatan lain. Oh ya yang agak kelupaan, aku sampaiakan rasa terimakasih untuk salah satu mahasiswa semester akhir Teknik Sipil Universitas Negeri Jakarta yang sudah bersedia mengantar sekaligus menemani kami menjelajahi tanah Dieng disela kesibukannya menyusun skripsi *muah muah deh pokoknya buat bang Zafran KW 18 haha* Sampai berjumpa di
perjalanan berikutnya.
Mariani Yuni Susilo Wenti
@marianiyuniSW
No comments:
Post a Comment