Sunday, August 10, 2014

Dieng Plateau Dalam Cerita

Penghujung Ramadhan pun tiba, suara takbir mendengung dari berbagai sisi. Ledakan petasan pun tak kalah meriah menandingi gema takbir. Bahkan tak jarang riuhnya mengalahi lantunan takbir. Malam itu, rasa bahagia bercampur sedih menyelinap dalam dada. Bahagia karena hari kemenangan sudah di depan mata. Hari dimana seluruh insan saling meminta maaf dan memaafkan hingga digambarkan seperti bayi yang baru lahir, suci. Sedih karena pada kesempatan itu, dimana setiap kebaikan mendapat balasan berlipat aku kurang memaksimalkan waktu untuk beribadah dan berbuat amal salih. Shalat Tarawih banyak kutinggalkan, bukan hanya karena halangan sebagai seorang wanita, namun rasa lelah setelah melakukan aktivitas pun kujadikan alibi. Astaghfirullahaladzim.

Solo
Ramadhan, bulan penuh berkah lagi kemuliaan telah kita lalui. Berganti dengan Syawal, bulan kemenangan. Kegitan mudik seakan menjadi tradisi masyarakat Indonesia untuk melewati hari kemenangan dengan berkumpul bersama sanak keluarga. Begitupula dengan keluargaku. Kami menyempatkan untuk bersilaturahmi ke Karanganyar Solo dan Banjarnegara.

Aku dan keluarga sudah meninggalkan keramaian ibu kota sejak H-5. Destinasi pertama kami silaturahmi ke Karanganyar Solo (tanah kelahiran Mama). Pukul 10:00 WIB kami memulai perjalanan darat dan sampai tujuan bertepatan dengan berkumandangnya adzan Subuh pada hari berikutnya, sekitar pukul 04:30 WIB. 18,5 jam, perjalanan yang cukup lancar.

Mbah diantara makan mbah putri (kiri) dan mbah buyut(kanan)
Aktifitas kami selama di Solo tidak jauh berbeda dari tahun ke tahun. Bersilaturahmi ke rumah sanak keluarga di desa serta menyempatkan membersihkan makam para pendahulu kami, sosok yang belum sempat aku tatap wajahnya (nenek dan buyut) seakan sudah menjadi kegiatan rutin.  Walaupun aku belum pernah memandang sosok hangat penuh kasih, namun aku yakin cinta Beliau padaku tak akan tergerus oleh waktu. Mereka akan slalu menyayangiku,mengasihiku, menjagaku dari syurgaNya. Begitu pula denganku, memanjat do’a sebagai penghubung antar dunia, duniaku dan dunianya.  
Kamboja putih yang aku
temukan di makam. 

Setelah lima hari menikmati suasana Solo, tepatnya setelah salat Iedul Fitri kami melanjutkan perjalanan berikutnya, Banjarnegara (tanah kelahiran Bapak). Kami menempuh perjalanan selama delapan jam. Keesokan paginya, kami merealisasikan rencana kami yang sudah sejak dulu terpendam *ini kalimatnya agak lebay, maklum pemendam rasa*

Oke kembali ke topik…

Sudah sejak setahun lalu aku merencanakan untuk menjajaki dataran tinggi Dieng. Berawal dalam perjalanan dari Banjarnegara menuju Solo melewati Wonosobo tahun lalu. Aku terpukau pada pesona pemandangan alamnya. Sejuk, asri, alami. Seakan member kenyamanan dan ketenangan jiwa. Tak hanya itu, disana juga masih banyak ditemukan peninggalan peradaban sebelumnya, seperti: candi, gua, dan batu/prasasti.

Di tahun ini, anganku tak hanya sekadar melayang dalam angan, namun bisa aku capai. Aku pergi bersama delapan orang lainnya, termasuk keluargaku. Butuh waktu sekitar satu sampai dua jam untuk sampai di lokasi dari rumah kakekku. Bukan main, keindahan alam yang ditawarkan seakan membuka mataku, betapa besar kuasaMu Tuhan. Tak lelah aku memuji lukisan indah alamMu. Subhanallah.

Kawah Candradimuka
Dieng menawarkan berbagai macam destinasi wisata. Kami memilih kawah Candradimuka sebagai destinasi wisata pertama. Menurut cerita pewayangan, kawah Candradimuka merupakan tempat Gatutkaca direbus supaya kuat. Setelah direbus dikisahkan Gatutkaca memiliki otot kawat tulang besi.  Tidak mudah menuju lokasi tersebut. Kami harus menempuh track naik dengan kemiringan 30-40 derajat dengan  jalan berbatu dan tanah yang cukup labil untuk ditapaki. Tetapi rasa lelah seakan hilang begitu sampai di puncak bukit. Kami dapat melihat sebuah kawah aktif yang menyelinap dibawah bukit lengkap dengan asap dan aroma belerang khasnya. Kawah Candradimuka memiliki keunikan tersendiri. Memiliki letupan air panas mirip sumber air panas.


Namun kami tidak berlama-lama di lokasi tersebut, karena kami harus membagi waktu untuk bisa menjajaki lokasi wisatal ainnya. Pesona alam dan udara sejuknya seakan menahan kami agar tidak meninggalkan lokasi tersebut.
peta lokasi telaga warna
Telaga Warna
Telaga warna menjadi destinasi kedua kami. Sebelumnya aku pernah mencari tahu informasi mengenai lokasi tersebut dari berbagai sumber internet. Darisana aku mengetahui bahwa telaga warna memiliki  tujuh warna air. Dan pada bulan-bulan tertentu kita dapat menemukan butiran butiran salju bertebaran di atas telaga tersebut. Indah bukan? Namun saat aku datangi, aku hanya melihat dua warna saja. Hijau dan putih. Menurut masyarakat setempat, hilangnya warna tersebut dikarenakan uranium yang berada dalam telaga tersebut sudah diambil oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi. Di lokasi tersebut tidak hanya menawarkan pesona telaga warna, namun masih ada objek wisata lain yang juga tak kalah memanjakan mata, seperti: telaga Pengilon, bukit Sidengkeng, gua Semar, dan lainnya.

Telaga Pengilon


Selanjutnya kami menuju candi Arjuna dan kawah Sikidang. Tidak seperti kawah Candradimuka, kawah Sikidang memiliki jumlah pengunjung yang jauh lebih banyak. Mungkin karena medannya yang mudah ditempuh dengan kendaraan dan lokasinya yang lebih luas. Oh ya, disana ada sesuatu yang cukup ajaib buat aku. Jadi ketika kami tertawa, ada uap seperti asap keluar dari rongga mulut. Seperti berada diluar negeri. Padahal itu reaksi akibat suhu disekitar yang rendah. Agak norak si kelihatannya, aku berusaha terus menurus untuk tertawa, setidaknya untuk mengatakan “HAA” pada yang lain. 

Kawah Sikidang
Menurut legenda, ada sejarah terbentuknya kawah Sikidang. Ratusan tahun lalu, hidup seorang putri cantik jelita dan kaya raya bernama Shinta Dewi. Paras cantiknya terkenal sampai kemana-mana. Hingga pada suatu saat ada seorang pangeran sakti dan kaya raya yang memiliki fisik besar nan gagah ingin melamar sang putri. Lamaran pangeran Kidang Garungan ditolak sang putri lantaran kepalanya tidak seperti manusia, melainkan mirip kijang. Putri pun memutar otak untuk menolaknya. Hingga akhirnya ia mengajukan syarat untuk dibuatkan sumur yang besar dan dalam dalam waktu satu hari. Saat sumur itu sudah hampir selesai, putri memerintahkan pengawalnya untuk menimbunnya dengan tanah.  Ketika seluruh tubuh pangeran sudah tertimbun tanah, pangeran mengerahkan kesaktiannya untuk bisa keluar. Tak ayal sumur itu pun  meledak hingga tanah berhamburan keluar. Sebelum sang pangeran meninggal tertimbun tanah, ia bersumbah bahwa seluruh keturunan Shinta Dewi akan berambut gimbal. Dan sumur yang meledak tersebut lama-kelamaan membentuk kawah yang dinamakan kawah Sikidang.


Di lokasi tesebut kita banyak menjumpai penjual yang menawarkan hasil perkebunan sekitar, seperti: carica, kentang, wortel, dan lainnya. Di lokasi tersebut kita juga dapat menemukan sesuatu yang dapat dijadikan objek foto, seperti: kuda, gorilla (palsu), motor, dan masih banyak lagi.

Semburat merah mulai mewarnai birunya langit. Menandakan sang mentari sudah bersiap-siap untuk kembali ke persembunyiannya. Terasa berat meninggalkan tanah Dieng. Masih banyak destinasi yang belum kami kunjungi. Bukit Sikunir misalnya. Bukit yang konon memiliki pesona matahari terbit yang sangat memukau. Namun perjalanan harus berhenti disini.  Karena kami memiliki kegiatan lain. Oh ya yang agak kelupaan, aku sampaiakan rasa terimakasih untuk salah satu mahasiswa semester akhir Teknik Sipil Universitas Negeri Jakarta yang sudah bersedia  mengantar sekaligus menemani kami menjelajahi tanah Dieng disela kesibukannya menyusun skripsi *muah muah deh pokoknya buat bang Zafran KW 18 haha* Sampai berjumpa di perjalanan berikutnya.  



Mariani Yuni Susilo Wenti
@marianiyuniSW

No comments:

Post a Comment